Selasa, 08 Desember 2009

Masa Depan Banten Untuk Kesejahteraan Rakyat

Allhamdulillah berkah rachmat allah, kerja keras semua pihak termasuk DPRD dan pemerintahan serta dukungan masyarakat akhirnya tanggal 4 Oktober 2000, rencana undang-undang pembentukan Provinsi Banten menjadi undang-undang No.22 tahun 2000. Terbentuklah Provinsi Banten memiliki rangkaian sejarah yang panjang. Kelahirannya merupakan cita cita kolektif masyarakat yang menyala diantara arus zaman. Hasrat itu telah tumbuh sejak zaman orde lama, komite pembentukan Provinsi Banten yang di ketuai H.Uwes Qorny (Alm). Organisasi ini didirikan pada tanggal 18 Juli 1999 dan pokja pembentukan Provinsi Banten di ketuai HM.Irsyad Djuaweli yang di bentuk pada 1 Agustus 1991. Kedua organisasi tersebut dalam perkembangannya mengalami silang sengketa, sehingga demi kesatuan serta percepatan pembentukan Provinsi Banten sehingga oleh ketua organisasi tersebut dilakukan fusi yang kemudian bernama “Bakor Pembentukan Provinsi Banten“ yang di ketuai oleh Tb Tryana Syam’un, yang terlibat dengan fusi organisasi ini para tokoh tokoh termasuk : Muchtar Mandala, Tb Farich Nachril dan H.Mardini. Organisasi-organisasi pendukung ikut memotori seperti Organisasi Pemuda, Mahasiswa, Wartawan, Lsm. Pemerintah daerah DPRD/Kabupaten/Kota maupuhn warga masyarakat sendiri yang memiliki tujuan yang sama yaitu pembentukan Provinsi Banten.

Disini perlu di catat peranan GPRI (Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia) yang saat itu di ketuai Agus Najiullah. Lsm ini aktif menggalang kekuatan dengan berbagai tokoh Banten, juga melakukan kegiatan semacam seminar-seminar, bahkan pokja pembentukan Provinsi Banten yang di ketuai Irsyad Djuaweli lahir dari seminar yang di selenggarakan GPRI di Hotel Patra Jasa, Anyer pada 1 Agustus 1999. Pada perjalanannya sejarah pembentukan Provinsi Banten menghadapi tantangan,hambatan dan permasalahan yang berat. Jika saja para tokoh Banten yang menggagas,mendirikan dan memperjuangakan lahirnya Provinsi Banten tidak kuat, baik mental,intelektual,moral sosial,dan finansial. Barang kali Provinsi ini tinggal sebuah gagasan saja. Satu hal yang pantas kita ingat adalah pandangan fraksi-fraksi di DPRD, terutama fraksi Golkar yang menjadi motor penggerak usul inisiatif ini adalah agar strategi kebijakan pembangunan Banten harus meliputi tiga hal yaitu :

  • Pemberdayaan masyarakat sebagai intifilosofi daerah membangun.
  • Pemanfaatan, pemeliharaan dan pengembangan potensi sumber daya Banten dengan Menerapkan model pembangunan yang bertumbu padaperan serta masyarakat luas, Keterbukaan, pemerintahan yangbersih dan bebas KKN, Demokratis, Restonsif, Jujur dan Adil.
  • Pembangunan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi dan karakteristik, Wilayah, adat, budaya, teknologi, norma agama, dan moral serta kemampuan masyarakat. Juga sebaiknya kita ingat kembali kalimat kunci tambahanMentri Dalam Negri Suryadi Sudirja pada pembahasansingkat IV atau pengambilan keputusan atas RUUpembentukan Provinsi Banten menjadi UU dalam sidang paripurna DPR/RI 4 Oktober 2000.

Bahwa apabila hendak menetapkan suatu kebijakan terlebih dahulu yang menyangkut kepentingan publik. Mestinya kita sepakat perlu adanya mekanisme, konsultasi dengan masyarakat. Saran dan pendapatnya sehingga apabila kebijakan itu di ambil masyarakat telah rapih dan lebih dari itu dapat memberikan dukungan. Provinsi Banten dalam usianya yang ke 9th tak menutup mata banyak hal yang telah di perbuat untuk kemajuan Banten baik fisik maupun non fisik. Tetapi kekurangan pun tak dapat di ingkari seperti masih adanya kesenjangan baik antar daerah (Kabupaten/Kota) terutama utara,selatan maupun antar golongan berpendapatan rendah dan tinggi. Dampak disparatis pembangunan ini merupakan tantangan yang perlu dipikirkan lebih serius, karna di khawatirkan kecemburuan social yang makin dalam dengan memberikan berbagai akses terhadap prilaku politik dan budaya masyarakat. Berkembangnya gejala pragmatisme dan oportunisme sebagai kultur baru di masyarakat Banten merupakan fenomena yang terkait dengan permasalahan tersebut.

Karna itu komitmen pemerintah untuk melakukan pemberantasan kemiskinan peluasan pendidikan dan kesehatan hingga ke desa-desa dapat menjadi diagnosis yang efektif bagi penumbuhan partisipasi dan rasa keadialan. Selain itu peranan penting yang tidak bisa di abaikan oleh pemerintah Provinsi adalah mengkoordinasi antar kabupaten atau kota. Perana ini menyangkut kewajiban pemprof dalam menggilas kekuatan sehingga kebersamaanya antara Gubernur dan Bupati atau Walikota dapat melahirkan kebersamaan dalam membangun kemajuan Banten. Meskipun Bupati atau Walikota bukan bawahan Gubernur mereka memiliki tanggung jawab yang sama mengembangkan wilayah dalam suasana. Menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing dalam hal ini etika berpemerintahan meniscayakan bahwa Pomprov dapat berperan sebagai koordinasi, konsultasi, dan fasilitasi bagi kemajuan wilayah di Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

Untuk tujuan tersebut peran DPRD Provinsi Bantenn harus produktif, menciptakan iklim politik yang kondusif, sehingga memungkinkan terwujudnya kerjasama yang kuat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Banten. Tugas mereka tidak hanya focus pada permasalahan budgeting saja tapi yang amat penting lagi melahirkan peraturan (Legislasi) dan penguasaan serta sekaligus bersama Gubernur menyelenggarakan pemerintahan dengan prinsip good governance, transparan, akun tabble, partisipatif dan mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat. Dalam kaitan ini DPRD harus dapat memainkan peran sebagai mediator dan fasilitator untuk mengelola berbagai kepentingan baik masyarakat pemkab/pemkot maupun kepentingan Pemprov sendiri. Mengingat semua kabupaten atau kota memiliki kemampuan dan sumber pembiayaan pembangunan yang berbeda-beda, maka bantuan provinsi itupun sebaiknya disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Kebutuhan yang urgen bagi Pemerintahan Provinsi Banten adalah peningkatan kapasitas birokrasi. Di era Otoinomi
Daerah kebutuhan tersebut diharapkan dapat mendukung perkembangan proses desentralisasi dan demokrasi, sebab sering kita mendengar berkembangnya isu bahwa yang menonjol dalam dinamika Pemerintahaan adalah kepentingan elite local ketimbang isu, yang berkaitan kepentingan public atau masyarakat.

Seperti peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, pertanian dan perbaikan mutu layanan public lainya ini berarti yang berlangsung bukan Otonomi Daerah tapi Otonomi Elite untuk memperoleh keuntungan, keuntungan melalui transaksi politik yang kurang sehat. Otonomi Daerah sebagai hak daerah untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis baik dibidang politik, ekonomi maupun budaya. Sudah tentu hal itu memerlukan birokrasi yang revormis, profesimal, efektif efesien dan inovatif serta mampu menjawab tantangan tugas. Jika birokrasi memiliki kemampuan yang dibutuhakn untuk tujuan tersebut, maka proses Otonomisasi masyarakat akan berjalan lancar. Inti dari konsep diatas adalah harapan agar semua perangkap pemerintah Provinsi Banten dalam usianya yang kesembilan ini mampu menampilkan provesionalisme diatas prinsip akuntabilitas demokratis danmemiliki kompetensi yang sesuai tugas kerja tanggap terhadap berbagai keluhan masyarakat responsive seryta mampu mendorong dan menumbuhkan partisipasi seluruh aparat pembangunan.

Penulis Adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Social Dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.